SEPATU SEPTIAN
Septian sedih
melihat kondisi sepatunya yang sudah tidak layak pakai karena sudah dia pakai sejak
duduk dibangku kelas 2 SD. Sekarang Septian duduk dibangku kelas 6 di sebuah
Sekolah Dasar Negeri di daerahnya. Dia
seorang anak yang cerdas dan selalu mendapat peringkat 1 di kelasnya. Dia juga
mempunyai banyak teman karena dia merupakan seorang anak yang mudah bergaul,
namun Ibunya hanyalah seorang tukang nasi uduk dan Ayahnya sudah meninggal saat
dia duduk dibangku kelas 1 SD.
“Bu sepatuku sudah
rusak, belikan yang baru yah?” kata Septian,
“Iya nak nanti
ibu belikan tapi tidak sekarang ya, ibu belum ada uang” jawab Ibunya. Septian
hanya bisa menurut kepada Ibunya karena dia sadar Ibunya sudah berjuang untuk
menghidupi dia seorang diri hanya dari hasil berjualan nasi uduk di depan
rumahnya, jangankan untuk membeli sepatu baru, untuk makan sehari-hari saja
sudah pas-pasan.
Septian masih
memakai sepatu lamanya untuk pergi ke sekolah, sesampainya di sekolah ada saja
siswa yang jahil mengolok-olok sepatunya yang rusak itu
“Hey Septian
bagus sekali sepatumu, beli dimana? Hahaha” Yoyo dan teman-temannya
menertawakan septian.
Septian hanya
bisa tertunduk malu dan tidak membalas olokan Yoyo karena dia tahu tak ada
gunanya membalas orang-orang yang menertawakannya itu.
Sesampainya
dirumah dia menceritakan kejadian di sekolah tadi kepada Ibunya,
“Bu tadi ada
yang menertawakan sepatuku yang sudah rusak ini di sekolah, aku malu” kata Septian,
“Sabar ya nak,
tak usah malu karena sejelek apapun pakaian yang kita pakai tidak jadi masalah,
yang penting tujuanmu ke sekolah adalah untuk mencari ilmu dan mendapatkan
prestasi” jawab Ibunya.
“Benar juga kata
Ibu, aku kan ke sekolah untuk mencari ilmu, mengapa aku harus malu” pikir Septian.
Setelah
mendengar cerita anaknya yang di ejek itu Ibunya merasa sedih, dia berdo’a dan
berusaha mencari uang untuk ditabung dan membelikan sepatu baru untuk anaknya.
Keesokan harinya
setelah pulang sekolah Septian bermain layang-layang dengan teman-temannya di
lapangan dekat rumahnya, tetapi Septian tidak mempunyai layang-layang, dia pun
pulang kerumah dan meminta uang kepada Ibunya
“Bu aku minta
uang untuk membeli layang-layang?” kata Septian,
“Maaf nak ibu belum punya uang” jawab ibunya.
Mendengar hal
itu Septian sedih dan kembali bermain layang-layang dengan teman-temannya, dia
hanya duduk dan melihat teman-temannya asyik bermain
Hari berikutnya
Septian ingin bermain kelereng dengan teman-temannya namun dia tidak mempunyai kelereng
dan ingin membelinya, Septian bermaksud meminta uang ke Ibunya
“Bu aku ingin
bermain kelereng, tapi aku tidak punya uang untuk membelinya” kata Septian,
“Maaf nak Ibu
belum punya uang, lain kali saja ya” jawab Ibunya.
Untuk kesekian
kalinya Septian meminta uang kepada Ibunya tetapi Ibunya lagi-lagi belum punya
uang, Septian pun kesal
“Lagi-lagi belum
punya uang, aku kan ingin bermain bu, lalu kapan Ibu punya uangnya?” Septian
membentak Ibunya,
Ibunya pun hanya
terdiam dan sedih mendengar kata-kata Septian. Lagi lagi Septian hanya bisa
duduk dan melihat teman-temannya bermain.
Suatu ketika Septian
melihat mading di sekolahnya yang berisikan lomba lari antar Sekolah Dasar se Kecamatan,
juara 1 mendapatkan piala dan beasiswa selama 1 tahun, juara 2 mendapatkan
piala dan sepatu sekolah, dan juara 3 mendapatkan piala dan tas sekolah, Septian
pun sangat tertarik untuk mengikuti lomba tersebut dan dia berharap sekali
mendapatkan juara 2 dalam lomba lari tersebut.
Sampailah pada hari
yang ditunggu-tunggu oleh Septian yaitu lomba lari dan pada hari itu juga
merupakan hari ulang tahunnya yang ke 12th. Septian mengikuti lomba
lari tersebut tanpa sepengetahuan Ibunya. Lombapun dimulai, Septian berlari
sekuat tenaga agar dia berhasil mendapatkan apa yang dia sangat inginkan yaitu
sepatu sekolah. Sesampainya di garis finish ternyata Septian lah yang berhasil
mendapatkan juara 1 nya, saat penyerahan piala bukannya merasa senang dan
bangga tetapi malah kesedihan yang tergambar di raut wajah Septian, dia sangat
menyesalkan mengapa dia tidak berhasil mendapatkan juara 2 dan sepatu yang dia
incar. Dia pulang dengan membawa piala dan raut wajah yang sedih, Ibunya pun
bertanya
“Kamu kenapa
sedih Septian, ini kan hari ulang tahunmu?”,
“Sebenarnya tadi
aku habis mengikuti lomba lari antar SD di kecamatan bu, dan aku mendapatkan
juara 1” jawab Septian,
“Lalu kenapa
kamu sedih? Kan kamu berhasil mendapatkan juara 1 itu prestasi yang bagus
bukan?” kata Ibunya,
“Iya benar bu,
tapi sebenarnya aku ingin mendapatkan juara 2 karena hadiahnya sepatu sekolah,
mungkin karena aku tidak izin dan minta do’a kepada Ibu jadi aku tidak dapat
apa yang aku inginkan” jawab Septian,
“Owh jadi begitu
ceritanya, yasudah tidak apa-apa” kata Ibunya,
“Jadi Ibu tidak
marah padaku? Aku kan sudah membentak Ibu” kata Septian,
“Tidak, Ibu
sudah memaafkanmu nak, justru Ibu bangga padamu karena sudah mau berusaha“ kata
Ibunya,
“Tapi tetap saja
sekarang aku tidak punya sepatu, sepatuku makin rusak karena dipakai lomba lari
tadi” kata Septian sedih
Septian tidak
tahu kalau sebenarnya Ibunya telah menyiapkan sepatu sekolah baru untuknya
sebagai hadiah di hari ulang tahunnya.
“Ini kan yang
kamu inginkan?” kata Ibunya,
“Wah iya
terimakasih Ibu, darimana Ibu mendapatkan sepatu ini?” Tanya Septian,
“Sebenarnya Ibu
sudah menabung sejak kamu bilang sepatumu rusak, untuk itu Ibu tidak pernah
memberimu uang untuk membeli mainan, karena Ibu tahu ini lebih penting daripada
mainan-mainan yang kamu minta” jawab Ibunya,
“Terimakasih Ibu,
maafkan aku sudah mengira yang tidak tidak kepada Ibu” kata Septian,
“Iya sama-sama
nak” jawab Ibunya.
....TAMAT....